Hari ini, dunia merayakan Hari Kesehatan Jiwa se Dunia, 10 Oktober 2021. Tema yang diangkat oleh World Federation for Mental Health adalah ‘Mental Health in an Unequal World’ (Kesehatan Jiwa di tengah dunia yang tidak setara).
Diana Setiyawati, PhD, Psikolog (Kepala CPMH Fakultas Psikologi UGM, sekaligus mitra penelitian Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS)) menilai belum usai kita menata fondasi sistem kesehatan jiwa, pandemi Covid-19 melanda. Menurutnya, pandemi membawa masalah pendidikan, masalah kemiskinan, dan juga mengakibatkan banyak anak-anak yang kehilangan ayah-ibunya.
“Dampak psikisnya mungkin belum terlihat sangat signifikan saat ini, meski tekanannya sangat terasa nyata. Namun, perubahan pola asuh karena perubahan konstelasi keluarga atau perubahan ekonomi keluarga, sangat berpotensi membawa dampak psikis jangka panjang. Para ahli perkembangan juga memprediksikan bahwa anak-anak dan remaja akan mengalami ‘the longest and the darkest effect of pandemic’ yang harus diantisipasi dan dikelola,”papar Diana, Minggu (10/10).
Melihat kondisi tersebut maka diperlukan pemetaan komprehensif tentang kondisi sistem kesehatan jiwa bangsa untuk rekomendasi prioritas pembangunan yang lebih tepat. Dalam hal ini Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) bersama Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, dengan support dari UNICEF, membantu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memetakan kondisi sistem kesehatan jiwa Indonesia. Tujuan dari penelitian ini, kata Diana, untuk memberikan rekomendasi prioritas pembangunan.
“Penelitian masih berjalan, bekerja sama dengan Dinkes-Dinkes Kabupaten/Kota se-Indonesia,”imbuhnya.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dengan data sementara yang terkumpul antara lain masih ada faktor-faktor yang secara umum dapat memperbesar risiko pengembangan gangguan jiwa, antara lain kemiskinan dan pendidikan yang rendah, atau lebih tepatnya literasi kesehatan jiwa yang rendah.
Hal ini erat berhubungan atau dapat mengakibatkan pola asuh orang tua yang tidak berorientasi pada kesejahteraan psikis anak. Kekerasan terhadap anak di rumah, menjadi salah satu risiko besar. Kekerasan antar remaja dan bullying di sekolah juga merupakan faktor risiko lainnya. Kemudian semua hal itu dapat berhubungan atau meninggikan risiko bunuh diri.
Lalu, seperti apa wajah sistem kesehatan jiwa di berbagai wilayah Indonesia?
Diana melihat masih ada kesenjangan yang cukup kentara dalam literasi kesehatan mental antar orang-orang yang bergerak di sistem kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Aturan dan distribusi bantuan terkait dukungan untuk tenaga kesehatan jiwa belum merata. Baik berupa pendanaan maupun fasilitas/infrastruktur (termasuk pemerataan RSJ).
Akses bantuan ke puskesmas terdekat bagi masyarakat, terkadang masih sulit dan mahal di beberapa wilayah di Indonesia. Begitupun, belum semua puskesmas di wilayah Indonesia memiliki pelayanan kesehatan jiwa karena minimnya SDM yang terlatih dan kompeten dalam kesehatan jiwa.
Di sisi lain, pemasungan masih terjadi. Hal ini terjadi karena keluarga dan komunitas tidak memahami deteksi dini. Keluarga dan komunitas juga tidak memahami manajemen ODGJ (Orang dengan gangguan jiwa) pasca treatment rumah sakit. Di sisi lain, tidak kuatnya keluarga menjalani treatment, sulitnya akses pelayanan kesehatan jiwa dan stigma untuk ODGJ dan keluarga menambah faktor resiko pemasungan. “Secara umum ada kondisi yang tidak setara di Indonesia. Ketidak setaraan terlihat dalam pemenuhan SDM antar puskesmas se-Indonesia,”tegas Diana.
Ia mencontohkan terdapat kabupaten dengan 35 psikolog klinis bekerja di seluruh puskesmasnya yang berjumlah 25. Memiliki SDM yang bertanggung jawab khusus dengan program kesehatan jiwa sehingga bervariasi pendekatan promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi kesehatan jiwanya.
Sementara di wilayah Indonesia yang lain, ada kabupaten yang memiliki 11 puskesmas, namun hanya 1 orang dokter umum yang pernah mendapatkan training kesehatan jiwa, bertanggung jawab terhadap program kesehatan jiwa bersama dengan segudang beban kerja di bidang kesehatan lainnya.
Dengan kondisi seperti ini maka masih ada beberapa PR yang harus kita lakukan bersama untuk membuat kondisi Indonesia setara di semua wilayah, seperti terpenuhinya SDM kesehatan jiwa, sistem rujukan yang terjalin rapi antar potensi masyarakat dan sistem kesehatan, serta orientasi program dari promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi.
Selain itu, pendekatan dalam sistem harus sepanjang rentang kehidupan, bekerja sama dengan semua sektor masayrakat, seperti sekolah, organisasi kerja dan elemen masyarakat lain tempat nadi kehidupan masyarakat berjalan.
Penulis: Satria