Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang para menteri berbicara tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Arahan itu, ia sampaikan secara langsung kepada para menteri sekaligus meminta mereka lebih sensitif pada kesulitan yang dihadapi rakyat.
Menurut pengamat komunikasi politik UGM, Nyarwi Ahmad, Ph.D, larangan tersebut dinilai tepat untuk situasi saat ini. Apalagi rakyat tengah dihadapkan dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng, serta kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Diskursus soal perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode yang terus bergulir, dalam pandangannya, sudah tidak tepat lagi dan mengarah pada situasi kontraproduktif. Oleh karena itu, diperlukan upaya menghentikan polemik yang kurang menyentuh pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat saat ini.
“Saya kira larangan itu tepat karena wacana itu kalau kita runut sebenarnya datangnya dari elite juga. Kalau melihat kebelakang entah dalam bahasa perpanjangan atau 3 periode itu kan berasal dari kalangan elite para menteri atau petinggi partai,” ujarnya, di Kampus UGM, Kamis (7/4).
Nyarwi mengakui diskursus semacam ini sebenarnya wajar dalam sebuah negara demokrasi. Meski begitu, ada persoalan-persoalan publik lain yang lebih penting dan memerlukan penyelesaian. Bukan sekedar jabatan presiden 3 periode, tetapi rakyat membutuhkan solusi yang menyangkut kehidupan ekonomi mereka.
“Ya sah-sah saja sebenarnya wacana semacam itu, tapi ada yang jauh lebih penting adalah menyangkut kehidupan publik yang harus segera diatasi, bukan soal presiden 3 periode tapi bagaimana mengantisipasi soal minyak goreng atau kenaikan tarif tol, BBM dan lain-lain,” ucap Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu.
Terhadap berbagai usulan menyangkut perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode, ia menilai usulan semacam itu menandakan jika sebagian elite masih merindukan bayang-bayang memiliki sosok pemimpin yang kuat seperti di zaman Orde Baru. Dengan keinginan semacam itu memperlihatkan soal ketaatan pada konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi belum tertanam sepenuhnya dalam kesadaran para elite.
Oleh sebab itu, Nyarwi sangat menyayangkan usulan tersebut mengingat Indonesia sudah mengalami fase kelembagaan demokrasi yang relatif cukup matang. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan pelaksanaan pemilu secara langsung selama 4 kali.
Kondisi ini memperlihatkan prosedural demokrasi di Indonesia sudah melembaga cukup baik dengan penyelenggaraan Pemilu secara reguler 5 tahunan untuk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Terlepas dari tingkat pendidikan dan pengetahuan politik yang belum merata tetapi pada intinya prinsip dasar demokrasi secara prosedural sudah berjalan dan masyarakat sudah terbiasa menggunakan hak pilihnya.
“Karenanya tepat cara untuk menghentikan polemik ini. Bisa berhenti tentu sejauh elite tidak meneriakkan atau menyuarakan agenda presiden 3 periode, dan saya kira wacana itu akan teredam dengan sendirinya,“ ungkapnya.
Meski begitu, elite disini jangan diartikan mereka yang berada di lingkaran presiden atau para petinggi partai, tetapi termasuk pula para perangkat desa di Indonesia. Karena Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) akhir-akhir ini turut menyuarakan soal perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode.
Jika prosedur demokrasi sudah berjalan dengan baik saat ini, kata Nyarwi, langkah berikutnya sebenarnya tinggal mengarahkan pada hal-hal yang substansial dari demokrasi berupa hal-hal yang menyangkut soal transparansi dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang lebih mudah.
Nyarwi meyakini berbagai pernyataan Presiden Jokowi soal ketaatannya pada konstitusi di berbagai kesempatan sebagai pernyataan yang dibangun dengan kesadaran penuh sebagai seorang presiden dan publik figur. Sebab, inkonsistensi akan menjadi risiko yang mahal bagi seorang politisi apalagi sekelas presiden.
Bisa-bisa hal tersebut membahayakan demokrasi yang pernah dibangun. Meski begitu, ia sekali lagi meyakini bahwa di fase-fase terakhir kepemimpinan sebagai presiden tidak akan mengambil risiko dengan merusak reputasi yang sudah banyak dikerjakan.
”Tentu presiden tetap komitmen terhadap demokrasi yang sudah berjalan sebagaimana yang diamanatkan konstutusi. Taat terhadap fondasi-fondasi kehidupan bertata negara yang tertuang dalam konstitusi kita, dan semua pernyataan pejabat publik saat ini kan tidak bisa ditarik, semua terekam dan dicatat. Media dan publik di era digital ini tentu akan mudah sekali menemukan jejak digital, termasuk pejabat publik,“ imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Suara.com