Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Hal ini diperburuk dengan minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di berbagai daerah Indonesia sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik. “Kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan. Kebanyakan justru berobat ke tenaga non-medis seperti dukun maupun kiayi,” terang Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Selasa (10/2) dalam workshop Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog di University Center UGM.
Banyaknya penderita gangguan jiwa yang belum tertangani secara medis, kata dia, dikarenakan masih minimnya tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia. Hal tersebut tentunya semakin menghambat upaya pencegahan dan penanganan persoalan kesehatan jiwa masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih belum mampu memenuhi kuota minimal yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Saat ini Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk). Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. “Jumlah tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat kurang dan distibusinya belum merata hingga di pelayanan kesehatan primer atau puskesmas. Kebanyakan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa,” jelasnya.
Eka menyebutkan sebagian besar puskesmas di wilayah Timur Indonesia belum memiliki psikolog. Sehingga persoalan kesehatan jiwa di daerah tersebut belum tertangani secara maksimal. “30 persen puskesmas di wilayah Timur Indonesia tidak memiliki dokter umum, apalagi tenaga kesehatan jiwa,” tuturnya.
Untuk mengurangi jumlah penderita gangguan jiwa, sejumlah upaya telah dilakukan Kementrian Kesehatan. Salah satunya dengan memberikan pelatihan kesehatan jiwa bagi tenaga kesehatan jiwa di puskesmas. “Baru 46,5 persen yang mendapatkan pelatihan,”katanya.
Dalam kesempatan itu Eka menekankan perlunya penguatan peran psikolog di puskesmas. Dengan kehadiran psikolog di tingkat layanan kesehatan primer tersebut diharapkan mampu membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai risiko kesehatan jiwa. “Titik beratnya adalah pada kegiatan promotif dan preventif,”tuturnya.
Hal senada disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X yang diwakili Kepala Dinas Kesehatan Arida Oetami. Menurutnya, psikolog harus menunjukkan ekistensi dan dedikasinya dalam memberikan layanan kesehatan jiwa bagi masyarakat. Dalam menjalankan peran tersebut, psikolog dituntut dapat menjalin sinergi dan melakukan komunikasi yang baik dengan tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Ia mengaku prihatin terhadap kondisi layanan kesehatan jiwa di tingkat primer Indonesia saat ini yang berada di bawah standar karena tidak diimbangi dengan kehadiran psikiater, psikolog, maupun perawat kesehatan jiwa serta fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Sehingga tidak mengherankan apabila angka kejadian gangguan kesehatan jiwa di Indonesia masih tinggi. Demikan halnya dengan wilayah DIY yang tergolong tinggi jumlah penderita gangguan jiwanya di tingkat nasional. Data Riset Kesehatan Dasar menyebutkan 3 per 1000 penduduk di DIY mengalami gangguan jiwa berat. “Ini terjadi di wilayah kantong-kantong kemiskinan DIY, bukan menjadi potret secara keseluruhan,” jelasnya.
Arida menambahkan banyak penderita gangguan mental di wilayah DIY yang belum teridentifikasi sehingga tidak memperoleh pelayanan kesehatan jiwa secara tepat. Terakhir, ditemukan sebanyak 72 kasus pemasungan penderita gangguan mental dengan 32 penderita yang berhasil teratasi dengan baik. “Jumlah tersebut baru yang teridentifikasi, pasti ada lebih banyak lagi kasus kesehatan jiwa lainnya yang tidak terdeteksi,” ujarnya.
Namun begitu, dengan adanya Peraturan Gubernur DIY tentang penanganan pasung ia meyakini kasus pemasungan di DIY akan semakin berkurang. “Awalnya kasus pasung ini tersembunyi dan tidak dimunculkan karena dianggap aib. Akan tetapi dengan pergub ini semua daerah menjadi lebih perhatian terhadap kasus ini,”paparnya.
Terkait persebaran psikolog di puskesmas-puskesmas DIY, Arida mengungkapkan bahwa seperti kebanyakan wilayah lainnya, DIY belum mampu menghadirkan psikolog secara merata di setiap puskesmas. Baru Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta yang memilki 1 psikolog di 1 puskesmas. Sementara di wilayah Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul psikolog belum terdistribusi merata di setiap puskesmas. (Humas UGM/Ika)