YOGYAKARTA – Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Muhammad Nasir, mengatakan pemerintah akan mendorong industri untuk memperbanyak jumlah peneliti dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Pasalnya dari 40 ribu jumlah peneliti di Indonesia, sekitar 18 persen saja yang berada di lingkungan industri. Sebagian besar atau 60 persen peneliti ada di lingkungan perguruan tinggi, dan 22 persen berada di lembaga penelitian milik pemerintah. “Sedangkan sisanya 18 persen ada di lingkungan industri,” kata Nasir dalam pidato sambutannya yang dibacakan oleh Deputi Bidang Kelembagaan Iptek, Kementerian Ristek dan Dikti Dr Mulyanto dalam konferensi “Mengidentifikasi cara Universitas, Industri dan Pemerintah dalam Meningkatkan Penelitian Inovatif” yang berlangsung di gedung University Club, Rabu (4/3).
Dalam konsep Sistem Inovasi Nasional yang dikembangkan pemerintah saat ini, kata Nasir, industri berperan menghasilkan barang dan jasa yang bernilai ekonomis sekaligus menjadi pelaku utama dalam kegiatan inovasi. Dengan begitu, industri diharapkan menambah jumlah peneliti serta mengalokasikan anggaran untuk kegiatan riset dan pengembangan. “Meningkatkan anggaran riset RI menjadi 1 persen dari PDB (Produk domestic Bruto) tidak mungkin hanya dengan mengandalkan anggaran pemerintah, perlu anggaran litbang dari industri dan swasta,” ujarnya.
Nasir menuturkan anggaran riset Indonesia saat ini hanya 0,08 dari PDB. Dari total abnggran riset tersebut sekitar 80 persen berasal dari anggaran pemerintah, hanya sekitar 20 persen saja bersal dari industri dan swasta. “Berbeda dengan negara yang sudah maju, anggaran riset dari dunia industri capai 75 persen,” katanya.
Sementara peneliti dari lingkungan perguruan tinggi, Nasir berharap kegiatan riset diarahkan bisa menghasilkan produk riset yang langsung bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri. “Perguruan tinggi sudah selayaknya berubah paradigm dari konsep universitas pengajaran menjadi universitas riset,” katanya
Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan tidak mudah bagi perguruan tinggi untuk bisa melakukan hilirisasi riset. Hal itu disebabkan budaya di lingkungan perguruan tinggi yang masih menganggap riset untuk bahan pengajaran mahasiswa. Di samping itu, pihak industri juga tidak dengan mudah bisa menerima produk riset dari penliti perguruan tinggi. Kalau pun produk itu pun diterima lantaran ada dukungan dari pemerintah. “Ada gap antara universitas dan industri, industri tidak mau membayar penuh produk riset kita terkecuali ada kebijakan pemerintah yang mendukung,” ujarnya.
Menurut Dwikorita, pemerintah perlu mendorong agar pihak industri bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam hilirasi produk riset dalam meningkatkan daya saing produk dalam negeri agar lebih kompetitif. “Produk lokal nantinya bisa kompetitif dengan produk impor,” ujarnya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan Kebijakan iptek dan inovasi dirasakan penting dan strategis bagi pemerintah daerah untuk mengenal dan menggali potensi daerah masing-masing. Menurutnya, pembangunan daerah saat ini tidak lagi berbasis pada sumber daya alam melainkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengetahuan. “SDM yang tangguh menentukan faktor daya saing bangsa. Namun Iptek harus dikelola utuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk sektor usaha dengan segala permasalahannya,” kata Sri Sultan dalam pidato yang dibacakan Kepala Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual DIY Dra. Indar Hidayati. (Humas UGM/Gusti Grehenson)