Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bukanlah hal baru di industri komunikasi. Sejak berkembangnya teknologi digital, AI banyak digunakan dalam berbagai sistem informasi. Baru-baru ini, AI dalam bentuk ChatGPT menjadi populer di kalangan mahasiswa karena kemampuannya mengumpulkan informasi dengan cepat. Tapi di sisi lain, perkembangan AI menuai pro kontra di kalangan ahli. Magister Ilmu Komunikasi UGM membawa isu tersebut dalam serial Diskoma #8 bertema “Artificial Intelligence dalam Industri Komunikasi”.
“AI kalau kita bayangkan dulu itu jauh ya dengan sekarang. Kalau dulu itu kita bayangkan AI sangat canggih hingga tidak semua orang bisa menggunakan. Tapi sekarang justru AI sudah menjadi bagian dari hidup kita. Tentunya di samping kapabilitasnya, ada berbagai tantangan yang muncul,” ucap Syaifa Tania, S.I.P., M.A, selaku Dosen Ilmu Komunikasi. AI digadang-gadang mampu menggantikan 375 jenis lapangan pekerjaan dalam perkembangannya. Kondisi ini tentu menuntut upaya besar untuk mengembangkan keterampilan pekerja yang baru agar lapangan pekerjaan tetap tersedia.
“Salah satu contoh penerapan AI di industri komunikasi adalah iklan. Jadi AI digunakan untuk mengakses konten media. Ini menjadi salah satu contoh yang familiar kita temui. Ketika kita sama-sama membuka satu website, bisa jadi iklan yang saya terima dengan yang anda terima itu beda meskipun website nya sama,” ucap Tania. Menurutnya, automatisasi AI untuk memenuhi kebutuhan individu secara khusus inilah yang membuat AI banyak dipakai dalam industri. Kapabilitas ini membantu industri menemukan target pasar yang tepat, hingga informasi tersampaikan dengan efektif.
Menurut Tania, terdapat empat hal utama yang menjadi tantangan berkembangnya AI. “Pertama, proteksi konsumen terhadap produk dan layanan yang digunakan. Kaitannya dengan privasi, ya. Kemudian adanya misinformasi, kita sudah sangat sering mendengar hoaks. Lalu news diversity, personalisasi berita yang memungkinkan institusi berita dan audiens sama-sama meraih keuntungan. Kemudian ada online targeting and community standard,” terang Tania. Layanan AI yang cenderung melakukan personalisasi informasi menyebabkan individu terpapar banyak informasi sejenis, sehingga muncul hambatan untuk mendapatkan informasi yang berbeda. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa hoaks saat ini mudah tersebar.
Sejalan dengan pendapat Tania, Rosinski Hiro, S.I.P., M.Sc, alumni Departemen Ilmu Komunikasi UGM sekaligus Head of Strategy Ambilhati juga memberikan gambaran bagaimana AI memengaruhi hidup manusia. “Kalau kita bicara tentang industri, pekerjaa, profesi maka kita perlu mengenal dua konsep. Pengetahuan kita itu adalah modal utama kita, sedangkan informasi adalah komoditas. Komoditas ini tentunya sudah diakuisisi oleh Google, Instagram, atau sekarang META ya. AI selamanya tidak akan pernah menggantikan manusia, tapi manusia yang menggunakan AI lah yang akan lebih unggul,” tuturnya.
“AI mungkin bisa menawarkan informasi yang lebih cepat, murah, dan banyak. Tapi manusia lebih bisa memberikan informasi secara tepat, berkualitas dan relevan. Kalau dibanding manusia, relevansi informasi dari AI masih sangat jauh,” tambah Rosinski. Baginya, AI tidak perlu diposisikan sebagai ancaman, justru fokus yang harus dilakukan adalah bagaimana AI bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.
Penulis: Tasya