
DPR tengah menginisiasi perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), sebuah langkah yang dinilai penting untuk menyelaraskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman. Namun, inisiatif ini juga memunculkan pertanyaan besar terkait keterwakilan publik dalam proses penyusunannya dan beberapa hal lainnya yang tak luput dari sorotan.
Pakar Kebijakan Pendidikan dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM, Agustina Kustulasari, S.Pd., M.A., mengatakan perumusan kebijakan pendidikan yang ideal harus menggunakan pendekatan demokratis dan teknokratis. Pendekatan demokratis mengutamakan suara masyarakat, sementara pendekatan teknokratis bergantung pada keahlian pakar. Mengingat UU Sisdiknas akan berdampak besar terhadap sistem pendidikan nasional dalam jangka panjang, kedua pendekatan ini perlu dipikirkan oleh anggota DPR dan pemerintah. “Revisi UU Sisdiknas ini adalah tugas yang luar biasa beratnya sehingga pendekatan yang digunakan itu penting karena setidaknya dapat mempertinggi potensi keberhasilan penerapan kebijakan nantinya,”kata Agustina, Senin (17/3).
Dari berbagai poin dalam rancangan UU tersebut, Agustina menyoroti soal rencana sentralisasi pengelolaan guru yang menurutnya aturan ini perlu dikaji lebih dalam. Melalui keberagaman bangsa yang sangat luas, desentralisasi terlihat lebih masuk akal karena pemerintah daerah lebih memahami kondisi dan kebutuhan guru di wilayah masing-masing. Namun, di sisi desentralisasi membawa konsekuensi terhadap tantangan dalam hal standarisasi kualitas pendidikan. “Pilihannya bukan sekadar sentralisasi atau desentralisasi, melainkan menentukan apa yang sebaiknya dikelola secara terpusat dan apa yang lebih efektif jika dikelola oleh pemerintah daerah,” lanjutnya.
Mekanisme kebijakan yang bersifat fleksibel dengan sistem umpan balik antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting dilakukan agar implementasi kebijakan berjalan optimal.
Selain itu, Agustina juga menilai salah satu tantangan terbesarnya adalah rencana pengkodifikasian delapan kebijakan pendidikan yang sudah ada agar lebih sinkron. Walaupun tugas ini diakuinya sangat berat, tetapi ia menangkap tujuan sinkronisasi ini bermaksud baik. “Tujuan utamanya baik, yakni mengurangi kontradiksi dalam regulasi sehingga implementasi kebijakan menjadi lebih efektif. Yang diperlukan adalah mengurangi inkonsistensi antara satu aturan dengan aturan yang lain lewat kodifikasi,” ungkap Agustina.
Meski begitu, ia mengingatkan agar para pembuat kebijakan tidak terjebak dalam tren sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Baginya, sebuah UU harus merespons kebutuhan fundamental, bukan sekadar isu yang sedang viral. Menurutnya, penting untuk tetap kritis terhadap berbagai indikator global seperti hasil PISA karena meskipun memiliki nilai informasi, data tersebut bukan satu-satunya indikator kualitas pendidikan kita.
Sementara dari sisi pelibatan masyarakat, ia menyatakan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan dapat terpenuhi jika DPR mendengarkan dan memahami kebutuhan masyarakat, terutama melalui konsultasi langsung dengan konstituen. Bahkan anggota DPR dapat menyesuaikan dengan kondisi di lapangan, seperti dalam hal upaya pemerataan akses pendidikan, terutama bagi daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). “DPR berperan sebagai representasi masyarakat demi keterwakilan publik sehingga pertanyaan yang lebih krusial adalah sejauh mana anggota DPR yang terlibat benar-benar mewakili suara konstituen mereka,” ujarnya.
Agustina menilai UU yang baru harus mempertimbangkan capaian yang sudah ada dan membangun strategi yang lebih berbasis riset daripada berjibaku mengkritik kekurangan yang ada. Ditengah pergantian kepemimpinan yang acap kali terjadi ini, ia turut memberi penekanan akan pentingnya merancang UU dengan narasi besar yang tidak mudah terpengaruh oleh dinamika politik. “UU Sisdiknas harus memiliki level abstraksi yang memungkinkan adaptasi tanpa kehilangan arah utama. Meskipun ada perubahan kepemimpinan, kebijakan tetap bisa dijalankan dengan baik di samping harus tetap mengantisipasi bagaimana RUU ini nanti diterjemahkan ketika ada perubahan,” tuturnya.
Agustina menaruh harapan besar agar UU Sisdiknas yang baru nanti tidak mengabaikan apa yang sudah dicapai, tetapi justru menjadikan capaian tersebut sebagai pembelajaran. Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya membangun proyeksi pendidikan Indonesia menuju 2045. “Yang perlu kita lihat adalah bagaimana pendidikan kita bisa mendukung visi Indonesia Emas 2045 dengan pendekatan yang realistis dan berangkat dari akar permasalahan yang nyata,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik