Siham begitu terlihat sederhana. Sekilas tidak terlihat jika ia menderita autis. Orang akan tahu jika ia autis saat berbicara atau mengobrol dengannya. Bicaranya kadang masih terbata-bata dan sesekali harus diulangi agar lebih jelas.
Begitulah Siham Hamda Zaula Mumtaza. Mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) UGM Angkatan 2019 dari jalur Bidikmisi asal SMAN 1 Jepara, Jawa Tengah.
Siham mengaku didiagnosis menderita autis Asperger sejak SD. Mendengar suara keras atau bentakan menjadi momok baginya. Ia sama sekali tidak suka mendengar suara-suara keras. Maka tidak heran bila sehari-hari Siham lebih banyak beraktivitas mandiri tidak melibatkan banyak teman.
Meskipun demikian, ia tetap menjalani kuliah di Fapet UGM dengan penuh semangat. Siham setiap hari dengan rela menempuh perjalanan kuliah dari daerah Condongcatur ke kampus dengan sepeda.
Sadar tidak sama dengan teman lainnya, ia selalu duduk di bangku depan saat kuliah berlangsung. Dengan memilih cara seperti itu cukup membantunya dalam mengikuti proses belajar di dalam kelas.
Ia cukup senang dengan keberadaan komunitas UKM Peduli Difabel di UGM. Bersama komunitas tersebut ia merasa sangat terbantu dalam menjalani proses perkulihan di UGM.
“Saya masih ingat saat memilih lokasi KKN-PPM, waktu itu saya juga diarahkan dan dibantu teman-teman dari UKM Peduli Difabel,” kata Siham, Jum’at (5/7).
Bersama komunitas UKM Peduli Difabel di UGM, Siham merasa memiliki lingkungan cukup kondusif bagi proses belajarnya. Meski ada kekurangan dalam dirinya, ia merasakan tidak ada kendala saat berada di kampus. Pun dengan yang dirasakan para penyandang disabilitas lainnya yang ada di UGM.
Siham bercerita bahwa dirinya saat ini diujung menjalani perkulihan. Ia mengaku hampir selesai kuliah di UGM, dan tengah menyiapkan diri agar bisa berwirausaha dalam penggemukan kambing atau domba.
Ketua Program Studi Ilmu dan Industri Peternakan, Ir. Tri Satya Mastuti Widi, S.Pt., MP., M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., atau yang biasa disapa Vitri, menegaskan sebagai universitas kerakyatan UGM termasuk di dalamnya Fapet UGM selalu terbuka bagi siapa pun yang akan menempuh studi di UGM.
Vitri mengakui dengan kondisi autis Asperger seperti yang diderita Siham maka yang bersangkutan perlu pendampingan dalam proses belajar. ”Anaknya mampu menguasai kata-kata tunggal atau kalimat sederhana, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama untuk menangkap penjelasan panjang dari suatu konsep,” kata Vitri yang juga dosen pembimbing Siham.
Untuk Siham, fakultas juga memberikan dukungan dengan fasilitasi supporting system seperti menyediakan buddy (teman) atau mentor.
“Tidak hanya Siham, ada penderita Autism Asperger lain yang juga mendapatkan pendampingan khusus dari Prodi dan pembimbing. Selain itu, ada mahasiswa tuli dan tunadaksa juga yang saat ini telah lulus,” kata Vitri.
Vitri di beberapa kesempatan juga memberikan sosialisasi kepada civitas lainnya agar memahami kondisi mahasiswa difabel dan turut memberikan dukungan tidak langsung kepada para mahasiswa tersebut. Hal itu bisa dilakukan misalnya dengan menciptakan lingkungan kampus yang ramah dan supportif, seperti menumbuhkan kesadaran dan penerimaan terkait mahasiswa berkebutuhan khusus.
“Pendekatan yang dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa difabel memang bersifat ‘customized’ tergantung kebutuhan mereka. Komunikasi yang intensif dengan keluarga dan pembimbing akademik mahasiswa-mahasiswa tersebut juga diperlukan sehingga kondisi mereka baik fisik maupun mental selalu terpantau,” pungkasnya.
Penulis: Satria