Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) bekerja sama dengan SKK Migas menyelenggarakan focus group discussion (FGD) yang mengangkat tema “Penyederhanaan Tata Kelola Perizinan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.” Diskusi ini dihadiri oleh akademisi di bidang hukum, politik, dan ekonomi. Turut hadir pula dalam diskusi yang dilaksanakan pada Selasa (5/12) bertempat di Ruang Sidang Dekanat FISIPOL UGM itu, perwakilan dari dua Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yakni Chevron Pacific dan Total Indonesia.
Panjangnya proses perizinan dalam kegiatan sektor hulu migas selama ini mengakibatkan kurang kondusifnya iklim investasi pada sektor ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena inefisiensi pada prosedur administrasi, kuatnya ego sektoral dan lemahnya koordinasi serta praktik rent-seeking di lembaga negara yang berwenang mengeluarkan izin.
Hasil identifikasi yang dilakukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), terdapat total 373 tahapan ijin yang harus dilalui agar kegiatan hulu migas dapat berjalan.
“Dari hasil identifikasi SKK Migas, rata-rata dibutuhkan waktu delapan sampai sepuluh tahun, mulai dari pengajuan izin hingga produksi bisa dimulai,” papar Didik Sasono selaku Kadiv Formalitas SKK Migas.
Rikardo Simarmata selaku ahli hukum agraria menanggapi formulasi dokumen tata kelola perizinan hulu migas saat ini. Ia menyebutkan bahwa perbaikan perizinan tata kelola perlu dilakukan untuk menurunkan biaya perizinan, memperbaiki distorsi pasar dan menghindari eksternalitas yang muncul akibat perilaku jangka pendek dalam pemanfaatan SDA. Dari 373 tahapan, SKK Migas sendiri menawarkan penyederhanaan tata kelola perizinan dalam empat klaster, yakni kaidah keteknikan, keselamatan dan keamanan, penataan ruang, pemanfaatan sumber daya dan atau infrastruktur lain, serta pelestarian lingkungan. Melalui penyederhanaan ini, diharapkan proses perizinan hanya akan menghabisakan waktu selama satu hingga dua tahun.
Menyoroti soal penyederhanaan perizinan dalam tata kelola sektor hulu migas, Cornelis Lay, ketua Research Centre for Politics and Government DPP UGM, menyatakan bahwa perumusan aturan legal memang penting dan dibutuhkan. Meski demikian, Cornelis menekankan tentang pentingnya pengelolaan risiko politik. Penyederhanaan perizinan dianggap bisa memunculkan resistensi dari para aktor yang selama ini memiliki kepetingan atas panjangnya proses yang ada.
“Beberapa aktor akan resisten, maka dibutuhkan adanya institusi penampung,”katanya.
Sementara itu, Poppy Ismalina, ahli ekonomi FEB UGM, menyebutkan tata kelola perizinan hulu migas tidak bisa serta merta dibawa kepada isu efisiensi. Namun, ia menekankan bahwa bukan berarti hitungan ekonomi harus dihapuskan. Poppy juga menggarisbawahi tentang pentingnya kepentingan daerah dalam sektor hulu migas. (Humas UGM/Catur; foto: Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM)