Perkawinan yang harmonis dan bahagia merupakan tujuan yang diinginkan oleh setiap pasangan suami istri. Namun, bagaimana orang Yogyakarta memandang kualitas perkawinan? Kita tahu masyarakat asli Yogyakarta sangat dekat dengan kultur budaya Jawa, bahkan memandang kualitas perkawinan pun berdasarkan konteks budaya Jawa. Baru-baru ini, mahasiswa S3 Fakultas Psikologi UGM melakukan penelitian terhadap 502 orang pasangan suami istri yang merupakan penduduk asli Yogyakartta dengan usia perkawinan minimal lima tahun.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa masyarakat Yogyakarta memandang kualitas perkawinan dari aspek intrapersonal, karena ada ungkapan bahwa kamulyaning urip dumunung ana tentreming ati (kemuliaan hidup itu berada pada ketenteraman hati) yang menunjukkan rasa tenteram sebagai hal penting. “Harmoni dalam hubungan sangat dipentingkan oleh masyarakat Yogyakarta,” kata Siti Rohmah Nurhayati, S.Psi., M.Si., saat menyampaikan hasil penelitiannya pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Psikologi, Selasa (18/7).
Menurutnya, kualitas perkawinan digambarakan oleh masyarakat Yogyakartta sebagai taraf keunggulan proses relasi suami istri berupa kedekatan dan kehangatan hubungan, respek, dan kerja sama serta hasil yang dirasakan oleh suami istri berupa kesejahteraan yang meliputi kondisi harmonis dan rasa bahagia. Dengan demikian, konsep tersebut menunjukkan bahwa ukuran kualitas perkawinan mencakup proses interpersonal yang menunjukkan adanya hubungan antara suami istri, sekaligus kondisi intrapersonal masing-masing suami istri.”
Hasil penelitian ini menunjukkan kedekatan hubungan sebagai bagian kualitas perkawinan yang bersifat umum. Sementara itu, respek dan kerja sama menjadi dominan yang relatif unik dari konteks lokal orang Yogyakarta,” ujarnya.
Meskipun kesejahteraan menjadi ukuran kualitas perkawinan di banyak tempat, namun harmoni dan rasa tenteram menjadi ciri keunikan dari kesejahteraan dalam perkawinan menurut orang Yogyakarta. Kesejahteraan menjadi puncak dari satu perkawinan yang baik namun demikian puncak tersebut hanya dapat tercapai melalui proses yang harus dilalui secara komunal oleh suami istri dengan saling bekerja sama, saling respek satu sama lain, serta membangun kedekatan dan kehangatan hubungan. “Mereka memandang perkawinan merupakan hubungan jangka panjang maka proses relasi tersebut terjaga kualitasnya agar kesejahteraan suami istri juga terus dirasakan sepanjang masa,” paparnya.
Kerja sama menjadi titik awal bekerjanya aspek kualitas perkawinan yang memengaruhi respek dan kedekatan serta kehangatan hubungan, dan pada akhirnya menimbulkan kesejahteraan pada pasangan suami istri. Oleh karena itu, berbagai usaha dilakukan dalam menjalankan proses relasi suami istri melalui kerja sama, saiyeg saeka praya, komunikasi yang terbuka, tepa selira, tulung tinulung, saling nerima, agar hubungan suami istri tetap dalam kondisi harmonis. “Ditambah dengan rasa tresna, saling membutuhkan dan saling percaya antara keduanya maka perkawinan bahagia akan dapat dicapai,” ujarnya.
Selain itu, kata Siti Rohmah, masyarakat Yogyakarta memandang hubungan suami istri merupakan satu kesatuan jiwa atau nyawa. Suami adalah belahan jiwa istri, demikian pula sebaliknya. Hal tersebut tampak dari penyebutan garwa bagi suami atau sitri, yang merupakan kependekatyan dari sigaraning nyawa atau belahan jiwa. (Humas UGM/Gusti Grehenson)