Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Nyarwi Ahmad, Ph.D, menolak anggapan bahwa aktor-aktor media sosial yang dikenal dengan sebutan influencer memegang peranan penting dalam komunikasi publik di era demokrasi digital.
Dalam konteks demokrasi, ia menilai bahwa peran komunikasi publik seharusnya dijalankan oleh pejabat publik karena merekalah yang paling mengerti tentang kebijakan yang dibuat dan memiliki tanggung jawab untuk membangun dialog dengan masyarakat.
“Semestinya para pejabat publik dan pemimpin institusi politiklah yang menjadi influencer dalam mengomunikasikan kebijakan publik yang diformulasikan dan hendak diimplementasikannya, bukan para influencer. Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi. Kemajuan demokrasi salah satunya terjadi ketika ada interaksi, ada diskusi yang lebih terbuka,” ucapnya.
Istilah influencer kerap diasosiasikan dengan individu atau kelompok yang mempunyai banyak pengikut dan apa yang disampaikan menjadi referensi bagi banyak orang. Meski demikian, di kalangan akademisi dan praktisi sendiri belum terdapat konsensus terhadap definisi influencer sehingga pemahaman terhadap istilah ini menurut Nyarwi lebih didasarkan pada common sense.
Influencer menurutnya dapat mengambil peran dalam bidang tertentu, misalnya yang berkaitan dengan promosi pariwisata. Namun, pelibatan influencer untuk mengomunikasikan suatu kebijakan kepada masyarakat dinilai kurang efektif karena tokoh-tokoh ini belum tentu memahami kebijakan yang dikomunikasikan secara menyeluruh.
Langkah ini juga dapat menimbulkan anggapan dari masyarakat bahwa pejabat publik tidak mampu membangun komunikasi kepada publik.
“Jangan sampai para pejabat publik dan pimpinan organisasi politik tersebut dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung ke publik,” imbuhnya.
Di samping itu, tidak ada kode etik atau standar yang mengatur kerja para influencer, serta asosiasi yang dapat melakukan evaluasi terhadap aktivitas para influencer. Lain halnya dengan pejabat publik yang terikat dengan prinsip-prinsip moral, kesantunan, basis ideologi, serta janji politik. Hal ini memunculkan risiko penyebaran disinformasi atau hoaks dan pada akhirnya berpotensi merusak citra lembaga negara.
“Jangan mempertaruhkan citra pemerintah pada influencer. Influencer belum menjadi suatu profesi komunikasi publik, jadi baik siapa mereka, apa kompetensinya, bagaimana etika dan standar komunikasinya belum jelas,” imbuh Nyarwi.
Para pejabat publik menurutnya harus melihat masyarakat bukan sekadar sebagai objek propaganda dalam komunikasi yang bersifat top-down, tetapi melibatkan masyarakat untuk bersama-sama memikirkan isu-isu yang berkembang.
Alih-alih menggunakan influencer, pejabat publik menurutnya perlu berusaha mengadaptasi media-media baru sebagai sarana untuk membangun interaksi secara langsung dengan masyarakat.
“Panggung politik tidak bisa disamakan dengan panggung hiburan. Di sini strategi komunikasi publik diperlukan untuk mencari model pengelolaan komunikasi dengan memanfaatkan platform-platform yang ada, tidak bisa sepenuhnya terjun bebas dengan mengimprovisasi pola-pola yang digunakan influencer,” paparnya.
Tren ini telah banyak dilakukan oleh politisi papan atas di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara Eropa, yang menyadari perlunya beradaptasi dengan media digital dan kemudian bertransformasi menjadi influencer terutama terkait isu-isu politik yang berkembang.
“Mereka sudah terbiasa memanfaatkan panggung komunikasi publik untuk bisa berinteraksi secara terbuka dengan masyarakat, bukan sekadar dibicarakan. Di Indonesia trennya politisi lebih suka dibicarakan daripada berbicara langsung kepada publik,” kata Nyarwi.
Strategi inilah yang menurutnya perlu dicontoh oleh pejabat publik di Indonesia. Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman tentang media digital atau keterbatasan waktu, para pejabat publik menurutnya dapat diberikan pelatihan khusus atau didukung oleh tim dalam menjalankan tugas komunikasi publik semacam ini.
Penulis: Gloria