
Transformasi penggunaan energi fosil menuju energi baru terbarukan menjadi agenda global yang membutuhkan kolaborasi multisektor. Pemerintah memiliki target untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060. Meski begitu, pemanfaatan batubara masih menyumbang 61% dari pembangkitan listrik di Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah kebutuhan energi masyarakat sangatlah besar dan terus meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini menjadi tantangan terbesar dalam mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil terutama batubara. Apalagi Indonesia masih menjadi eksportir batubara terbesar di dunia ditengah minat pasar terhadap batubara terus menurun, karena komitmen global atas penanganan perubahan iklim.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI), Eddy Soeparno, mengatakan untuk saat ini pilihan penggunaan energi fosil masih menjadi yang paling dominan karena dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar dengan biaya minimum. Namun pemerintah sudah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi fosil dengan melaksanakan sejumlah program dalam mendorong percepatan transisi ke energi yang lebih bersih.
“Transisi energi ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga swasta. Kapasitas swasta untuk melakukan riset mendalam, produksi, hingga distribusi menjadi pertimbangan utama. Kita membutuhkan power wheeling, karena kalau dari pemerintah saja tidak mampu,” kata Eddy dalam Seminar Energi “Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim”, yang berlangsung di ruang Multimedia Gedung Pusat UGM.
Indonesia menurut Eddy harus mendukung komitmen untuk melakukan transformasi energi dengan melihat berbagai dampak perubahan iklim yang ditimbulkan beberapa tahun belakangan ini. “Bulan Desember lalu kita mencatat kenaikan suhu tertinggi di beberapa daerah. Mencapai 38 derajat panasnya. Kita sekarang tidak hanya mengalami climate change, tapi juga climate crisis,” tutur Eddy.
Menurutnya, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan suhu rata-rata bumi semakin meningkat hingga mengancam kehidupan di bumi. Penanganan krisis iklim harus ditangani melalui manajemen krisis, bukan hanya business as usual (BAU).
Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM Prof. Dr. Djati Mardiatno, menyebutkan beberapa upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pelaksanaan program transisi energi. Salah satu diantaranya melakukan kajian mendalam untuk mengurangi penggunaan energi fosil dari sektor industri, kendaraan, dan pembangkit energi. “Transisi harus seimbang dengan ketahanan energi. Penting agar energi terbarukan dapat berkapasitas setara dengan kebutuhan energi dan stabil. Energi harus aksesibel dan efisien bagi masyarakat,” jelas Djati.
Ia menyoroti fenomena ketika pandemi berlangsung, fase perubahan iklim mengalami perlambatan secara signifikan dikarenakan berkurangnya aktivitas manusia yang menghasilkan karbon. Selain itu, perlu ada motivasi dengan memberikan subsidi atau insentif bagi pemanfaatan EBT, serta inovasi riset dan teknologi untuk mewujudkan ketahanan energi terbarukan.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. menyatakan UGM senantiasa mendukung upaya transisi energi dengan mengembangkan riset, inovasi, serta menyalurkan edukasi pada masyarakat.
Menurutnya, komitmen dalam mendukung transisi energi sudah seharusnya dilakukan melalui kerja sama multisektor, bahkan dilakukan oleh setiap masing-masing individu. “Persoalan ini tidak sederhana, bukan hanya soal orang tebang pohon atau buang sampah sembarangan. Tapi ini adalah dampak akumulasi dari aktivitas kita sebagai manusia. Sudah saatnya kita beralih dan perhatikan isu ini,” pesannya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie