
Budayawan UGM Prof. Dr. Aprinus Salam, M.Hum., mengkritik bahwa gagasan Indonesia Emas 2045 selalu dilihat dari sisi politik dan ekonomi, tidak dilihat dari sisi visi kebudayaan. Padahal dari visi kultural bisa diterapkan dalam upaya menggapai Indonesia emas pada dasarnya adalah memperjuangkan kepantasan dari kebijakan yang dibuat serta didukung dengan memperjuangkan hidup yang bermartabat.
Aprinus menegaskan bahwa sejatinya visi kebudayaan merupakan bagaimana usaha untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan mengedepankan kepantasan dan martabat bukan hanya menunggu hingga tiba pada tahun 2045 yang mana belum bisa diprediksi apa yang akan terjadi. “Hidup bermartabat dan pantas untuk hari ini tidak perlu menunggu 2045,” dalam kegiatan kajian program Ramadhan Public Lecture, di Masjid Kampus UGM, Sabtu (14/3), .
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM menuturkan bahwa perbincangan mengenai Indonesia emas sudah berlangsung selama delapan tahun lamanya terhitung sejak hal ini dibahas pertama kali pada tahun 2017. Ia menyampaikan bahwa gagasan ini seringkali dilihat dari sisi politik dan ekonomi. “Formula bersifat politik dan ekonomi tidak ada kaitannya dengan visi kebudayaan,” tuturnya.
Kalkulasi politik seperti dorongan untuk bersaing atau berkompetisi secara global dan meningkatkan taraf ekonomi merupakan hal yang tidak berkaitan dengan visi kultural. Ia memberi perumpamaan dengan baju yang ia kenakan. Jika dilihat baju yang Ia kenakan terlihat murahan yang mana hal tersebut hanya memenuhi prestige ekonomis dan simbolik. Namun, baju tersebut tetap pantas dikenakan.
Selain itu, Aprinus juga menyoroti bahwa capaian Indonesia emas saat ini dibebankan ke generasi muda. Anak muda seperti dihadapkan pada fantasi belaka yang membuat mereka tersandera untuk mewujudkan Indonesia emas dalam 20 tahun ke depan. “Padahal gagasan ini dibuat oleh generasi sebelumnya yang saat ini berperan sebagai otoritas kebijakan,” ujarnya.
Aprinus mengajak seluruh mahasiswa untuk bersama-sama memperkuat komunitas-komunitas intelektual untuk hidup yang bermartabat dan kualitas hidup yang lebih baik. “Mari seluruh mahasiswa untuk memperkuat komunitas yang betul-betul menjaga harga dirinya dengan menjaga kepantasan dan martabat hidupnya sehingga tidak tersandera terus,” imbaunya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson