
Menjelang Idul Fitri, praktik pemalakan tunjangan hari raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) kembali marak dan meresahkan masyarakat. Dengan berbagai dalih, seperti sumbangan sukarela atau tradisi tahunan, sejumlah pihak memanfaatkan momentum hari raya untuk meminta THR secara paksa, baik kepada pelaku usaha maupun warga biasa. Fenomena ini bukan sekadar tindakan ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam. Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. A.B Widyanta, S.Sos., M.A., praktik ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari perspektif sosial maupun hukum. Meskipun banyak organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak di bidang sosial, kenyataannya sebagian kelompok menggunakan dalih ormas untuk melakukan pemalakan terhadap pengusaha.
“Ini bagian dari praktik pemerasan, baik yang dilakukan secara halus melalui berbagai bentuk tekanan sosial dan permintaan yang tampak bersifat sukarela, maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka,” ujarnya, Kamis (27/3). Ia menegaskan bahwa setiap perusahaan sudah memiliki mekanisme dan aturan tersendiri terkait tanggung jawab sosial mereka, sehingga tuntutan dari ormas tidak memiliki dasar yang sah.
Widyanta menjelaskan bahwa fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial dan ekonomi. Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat yang pekerjaannya tidak tetap atau bersifat kasual. Kondisi ekonomi yang sulit memaksa mereka mencari cara untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar. Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, menurut Widyanta, turut memperburuk keadaan. “Ketika anggaran daerah dipotong, sumber pemasukan banyak yang menghilang. Ini berdampak besar bagi masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya masih mendapat limpahan dana dari proyek-proyek pembangunan,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Widyanta menyoroti kesenjangan sosial yang semakin melebar sebagai faktor pendorong maraknya aksi pemalakan oleh ormas. Ia menilai bahwa kelompok elit oligarki dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah mereka di berbagai platform media sosial dan ruang publik, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya. Sementara itu, di sisi lain, masih banyak masyarakat yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan dalam kondisi yang semakin sulit akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Fenomena ini, menurutnya, tidak hanya sekadar menciptakan kecemburuan sosial biasa, tetapi juga membentuk rasa frustrasi kolektif di kalangan masyarakat kelas bawah. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi memicu perasaan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat mendorong sebagian kelompok masyarakat untuk melakukan tindakan menyimpang, termasuk aksi pemalakan oleh ormas. “Kondisi ini semakin parah ketika ketidakadilan sosial ini terus berulang, sementara di sisi lain, budaya konsumtif semakin dipertontonkan tanpa kontrol,” ujarnya.
Menurut Widyanta, tindakan premanisme yang dilakukan ormas ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi karena dampaknya yang semakin meluas terhadap kestabilan sosial dan dunia usaha. Ia menekankan bahwa penegakan hukum harus diterapkan secara tegas, tanpa pandang bulu, serta tidak boleh terhambat oleh kepentingan politik atau kedekatan kelompok tertentu dengan aparat. Ia meyakini ormas-ormas ini memang melakukan pemerasan, tapi mereka hanyalah bagian kecil dari permasalahan besar yang dihadapi oleh negara. “Yang lebih berbahaya dan memiliki dampak sistemik jauh lebih luas adalah para pejabat yang secara terang-terangan mencabik-cabik konstitusi demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, menciptakan kebijakan yang tidak adil, serta membiarkan ketimpangan sosial semakin melebar,” ujarnya dengan tegas.
Ia menambahkan bahwa negara harus hadir untuk melindungi para pengusaha dari tekanan semacam ini. Jika praktik ini terus dibiarkan dan hukum tidak ditegakkan dengan serius, maka dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para pelaku usaha, tetapi juga oleh masyarakat luas. Biaya ekonomi akan semakin tinggi, iklim investasi akan semakin terganggu, dan pada akhirnya, stabilitas sosial bisa berada dalam ancaman yang lebih besar. Situasi seperti ini bisa memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang berkepanjangan, serta menumbuhkan sikap apatis terhadap hukum. “Karena itulah, pemerintah perlu mengambil langkah tegas dengan menertibkan ormas yang beroperasi di luar batas hukum serta memberikan jaminan perlindungan kepada para pengusaha agar mereka dapat menjalankan bisnisnya tanpa rasa takut atau tekanan dari kelompok mana pun,” pungkasnya.
Penulis. : Triya Andriyani
Foto : BBC Indonesia