
Indonesia saat ini menjadi salah satu dari dari 10 negara yang terkena tarif dagang tinggi dari Amerika Serikat. Pasalnya, Amerika Serikat menerapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk Indonesia, namun belum diberlakukan karena ada masa penundaan selama 90 hari yang dimulai sejak 9 April 2025. Belum lama ini, China berhasilkan melakukan negosiasi tarif dengan pemerintah Amerika Serikat dimana bea masuk impor turun dari 145 persen menjadi 30 persen.
Guru Besar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., menilai negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan AS akan mineral penting dan keinginan Indonesia untuk mengembangkan pengolahan domestiknya.
Mailinda menuturkan, Amerika Serikat tengah mencabut bea masuk global atas sejumlah mineral penting tertentu. Langkah ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Material tersebut sangat penting bagi ekonomi AS, digunakan mulai dari ponsel pintar hingga rudal berpemandu. “Pada dasarnya hal ini memperkuat akses Amerika terhadap sumber daya tersebut dan membuat ketersediaan globalnya menjadi semakin strategis,” katanya, Senin (19/5).
Mailinda menyebutkan,negara-negara yang kaya akan mineral tersebut kini menemukan posisi tawar yang semakin kuat dengan Amerika Serikat. Ia mencontohkan, Tiongkok yang memproduksi sekitar 90 persen logam tanah jarang dunia dan merupakan pemasok utama bagi AS, segera merespons dengan menghentikan ekspor berbagai jenis mineral penting. Menurutnya, Indonesia yang memiliki 34 persen cadangan nikel dunia telah memberi sinyal kemungkinan akan menggunakan mineral penting sebagai alat tawar dalam menghadapi tarif tersebut. “Kekuatan dari tawar ini bukanlah sekadar teori. Baik pembatasan dari Tiongkok maupun Indonesia disebut sebagai hambatan non-tarif dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers terbaru dari United States Trade Representative,” paparnya.
Namun begitu, imbuhnya pemerintah saat ini menghadapi dilema, apakah akan memanfaatkan keunggulan jangka pendeknya atau tetap fokus pada ambisi industrialisasi jangka panjang. Dengan menggunakan ekspor mineral sebagai alat tawar berisiko memperpanjang negosiasi dagang dengan AS. Berbeda dengan Tiongkok, yang merupakan kekuatan ekonomi besar dan mampu mengalihkan ekspornya ke pasar lain, Indonesia tidak memiliki fleksibilitas serupa. “Sebagai negara berkembang, Indonesia mungkin tidak sanggup menanggung dampak finansial dari tarif berkepanjangan,” ujarnya.
Mailinda berpendapat sejauh ini Indonesia mengambil langkah yang lebih kooperatif. Pemerintah sudah menjanjikan sejumlah konsesi untuk memenuhi tuntutan AS. Ini termasuk menurunkan kuota impor dan melonggarkan aturan kandungan lokal untuk produk elektronik asal AS. “Saya kira ini langkah-langkah yang jelas bertujuan mengakhiri konflik dagang dengan cepat,” terangnya.
Kesepakatan dagang yang lebih terbuka dengan Amerika bisa melemahkan kebijakan yang telah lama dibangun oleh Indonesia. Sejak 2020, Indonesia telah mendorong keras agar bijih mineral tetap diolah dalam negeri sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemerintah telah berinvestasi besar dalam pengolahan domestik, mendukung pendirian BUMN baru seperti Danantara dan menghadapi gugatan dari Uni Eropa terkait larangan ekspor mineral. “Membalikkan arah saat ini akan menyia-nyiakan upaya dan investasi selama bertahun-tahun,” sebutnya.
Salah satu kemungkinan adalah menghidupkan kembali Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) dengan AS. Namun, jalur ini tidak tanpa tantangan. AS kemungkinan besar akan menuntut akses lebih besar ke mineral penting Indonesia sebagai bagian dari perjanjian baru. “Tanda-tanda hal ini sudah terlihat dalam pembicaraan perdagangan terbaru, di mana Indonesia menunjukkan kesediaan untuk memperdalam kerja sama dalam rantai pasokan mineral penting meskipun cakupan dan mekanismenya masih belum jelas,” katanya.
Hal yang menjadi krusial adalah kerangka hukum Indonesia saat ini masih memberlakukan larangan ketat terhadap ekspor bijih mineral mentah. Oleh karena itu, setiap kesepakatan yang secara signifikan memperluas akses pasar AS ke sumber daya ini kemungkinan memerlukan reformasi legislatif dan regulasi besar. “”Jika AS menekan untuk liberalisasi pasar secara luas di sektor ini, Indonesia perlu melakukan perubahan struktural kebijakan yang lebih dari sekadar komitmen diplomatik,” tandasnya.
Kendati begitu, dunia usaha membutuhkan aturan dagang yang stabil. Jika ketidakpastian dari kebijakan AS terus berlanjut, katanya, banyak negara bisa memilih untuk mempererat perdagangan dalam wilayah masing-masing. “Jika tren ini berlanjut, dunia bisa bergerak semakin jauh dari kerja sama global dan menuju sistem di mana hanya kelompok-kelompok negara tertentu yang bekerja sama,” katanya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : AFP/Brendan Smialowski