
Menjelang pelaksanaan pilkada serentak, para calon kepala daerah yang nantinya terpilih diharapkan bisa merangkul para analis kebijakan agar kebijakan pembangunan yang dibuat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pasalnya, sebagian besar kepala daerah yang ada sekarang ini minim memiliki tim analis kebijakan yang kuat, sementara mereka hanya didukung oleh mantan tim sukses yang diangkat sebagai staf ahli atau staf khusus yang tidak memiliki kemampuan di bidang itu. Demikian yang mengemuka dalam diskusi yang bertajuk Analis Kebijakan dan Implementasinya yang berlangsung di Kafe Digilib Fisipol UGM, Rabu (4/4).
Dalam diskusi yang dipandu oleh Guru Besar Bidang Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, Prof. Laksono Trisnantoro, ini menghadirkan dua orang pembicara yakni Pakar Kebijakan Publik Fisipol UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo, dan Guru Besar Bidang Administrasi dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Prof. Dr. Agus Pramusinto.
Wahyudi menilai pengambilamn kebijakan di tingkat pusat dan di daerah, sebagian besar tanpa dilandasai hasil riset, survei dan fakta di lapangan sehingga kebijakan yang diambil belum dirasakan manfaatnya bagi masyarakat secara maksimal. “Banyak kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di daerah namun berdasarkan kepentingn, di lain pihak, di tingkat pusat banyak kebijakan hanya dirumuskan di belakang meja,” kata Wahyudi.
Kebijakan yang tidak aplikatif, menurutnya, berisiko memunculkan persoalan di kemudian hari seperti yang terjadi dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang digugat, peraturan pemerintah yang tumpang tindih dan banyak perda yang dianggap bermasalah.
Sementara itu, Agus Pramusinto menilai di era otonomi daerah pemerintah pusat seharusnya sebatas melaksanakan kebijakan yang sifatnya makro, sementara untuk bidang yang teknis seperti pendidikan dan kesehatan dilakukan di daerah. Apabila tidak bisa tertangani dengan baik lalu kebijakan bisa ditarik ke level provinsi atau ke tingkat pusat. Namun, yang terjadi adanya tumpang tindih dalam kebijakan. “Pemerintah pusat menganggap daerah tidak melakukan inisiatif sementara daerah menunggu arahan dari pusat lewat juklak dan juknis,” katanya.
Minimnya pengambilan kebijakan yang bersifat aplikatif dan mengena langsung, menurut Wahyudi, disebabkan para kepala daerah tidak memiliki tim analisi kebijakan yang kuat sehingga perlu didorong agar kepala daerah merekrut tim analis kebijakan bukan hanya menampung tim sukses yang diangkat sebagai staf ahli. “Perlu didorong calon kepala daerah memiliki kru bayangan memiliki tim yang kuat memberi masukan pada kepala daerah,” katanya.
Agus menilai beberapa daerah yang selama ini dikenal melaksanakan pembangunan dengan baik bukan disebabkan kepala daerah memiliki kemampuan menyusun kebijakan yang bagus, namun apabila kepala daerah melaksanakan kerja dengan baik saja hasilnya juga akan bagus. “Bukan bupatinya yang hebat tapi kerja yang normal saja sebenarnya hasilnya akan bagus,”katanya.(Humas UGM/Gusti Grehenson)