Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Wahyu Sakti Trenggono, mengatakan Kementerian KKP akan mengembangkan lima komoditas budi daya perikanan laut untuk mendorong kesejahteraan 140 juta penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Lima komoditas perikanan yang dipilih untuk budi daya yakni udang, rumput laut, nila salin, kepiting, lobster. “Pangsa pasarnya cukup besar sekitar 400 miliar dollar Amerika Serikat untuk satu tahun,” kata Menteri dalam kuliah umum yang bertajuk “Kebijakan Ekonomi Baru dan Peran Informasi Geospasial Tematik Ekosistem Karbon Biru pada Kawasan konservasi, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, Rabu (6/3), di Ruang Balai Senat, Gedung Pusat UGM.
Untuk mewujudkan usaha budi daya perikanan tersebut dimulai dengan pembangunan kampung nelayan modern yang merupakan bagian dari transformasi ruang hidup dan ruang sosial nelayan agar menjadi lebih produktif dan mandiri dengan dibangunnya fasilitas pabrik es, bale pelatihan, gudang beku, bengkel nelayan, kios persediaan, jalan akses, dermaga, dan pedestrian. Untuk saat ini, kampung nelayan modern yang dibuat sebagai percontohan oleh pemerintah berada di Desa Samber, Kabupaten Biak Numfor, Papua.
Pembangunan kampung nelayan modern ini diakui Menteri dalam rangka meningkatkan potensi kemampuan kita agar bisa unggul dalam sektor budi daya perikanan. Ia menyebutkan, untuk budi daya salmon saja banyak negara belajar dari Norwegia. “Untuk budi daya salmon itu belajar dari Norwegia. Misalnya Australia bikin budi daya salmon mendatangkan orang Norwegia,” jelasnya.
Apabila tidak dilakukan usaha budi daya perikanan semacam ini menurut Menteri maka akan sulit untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sebab indeks rata-rata nilai tukar nelayan RI saat ini hanya berkisar di angka 104 seharusnya untuk bisa sejahtera harus di angka 130. “Jika nilai tukar masih 104 maka para nelayan seumur hidupnya tidak akan pernah sejahtera,” imbuhnya.
Soal potensi ekonomi dari serapan karbon biru yang berasal dari wilayah kelautan, wilayah konservasi dan pulau terpencil menurut Menteri dapat memberikan kontribusi ekonomi. Oleh karena itu diperlukan sumber data yang komplit melalui pengembangan sistem infrastruktur ocean big data. “Kita sudah melakukan peluncuran satelit nano, mendatangkan kapal yang bisa memonitor, underwater drone, dan seluruh wilayah konservasi dipasang sensor untuk mengetahui kondisi perubahan wilayah konservasi dan pulau terpencil yang termonitor selama 24 jam,” katanya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., SP.OG (K)., Ph.D., mengatakan Indonesia memiliki potensi ekonomi dari daerah pesisir dan sektor kelautan untuk menunjang kesejahteraan nelayan dan berkontribusi untuk menurunkan dampak pada perubahan iklim. “Laut kita banyak menyimpan karbon biru lebih besar dibanding karbon hijau namun tantangan kita terkait ketersediaan data akan sumber daya laut termasuk potensi karbon biru,” paparnya.
Rektor menegaskan pihaknya siap untuk berkolaborasi dengan KKP dalam rangka mendorong penyediaan data ekosistem karbon biru secara terintegrasi. “Kami siap berkolaborasi dengan KKP. Kami sudah menjalin kerja sama sebelumnya lewat kegiatan pemetaan ekosistem karbon biru padang lamun di Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Gusti Grehenson
Foto: Donnie