
Ketegangan antara Iran dan Israel yang semakin meningkat akhir-akhir ini kembali menyedot perhatian dunia internasional, termasuk Indonesia. Konflik yang melibatkan isu strategis seperti kepemilikan senjata nuklir ini dinilai berpotensi mengganggu stabilitas kawasan dan dunia secara lebih luas. Peran Indonesia dalam menjaga perdamaian global serta urgensi memperkuat posisi diplomasi di tengah dinamika geopolitik internasional sangat diperlukan dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk ikut menjaga perdamaian dunia sebagai amanat pembukaan UUD 1945.
Dosen Hubungan Internasional UGM sekaligus anggota Organisasi International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN) Drs. Muhadi Sugiono, M.A., menjelaskan bahwa konflik antara Iran dan Israel merupakan salah satu ketegangan paling mengkhawatirkan di kawasan Timur Tengah, karena berkaitan langsung dengan isu kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir. “Konflik ini sangat spesifik karena menyentuh isu nuklir. Sejak 1967, dunia telah berupaya keras agar senjata nuklir tidak dimiliki oleh negara-negara selain lima negara resmi pemilik senjata nuklir dalam perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT). Namun kini situasi berubah ketika Iran dituduh melanggar ketentuan dengan meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen,” terang Muhadi dalam kegiatan Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk “Menakar Dampak Konflik Iran-Israel, Diplomasi RI Ikut Menjaga Perdamaian Dunia”, Kamis (26/6), di selasar barat Gedung Pusat UGM.
Serangan Israel terhadap Iran ini, ungkapnya, terjadi tepat ketika Badan Energi Atom Internasional (IAEA) merilis pernyataan bahwa Iran tidak mematuhi komitmen NPT di tengah proses negosiasi nuklir yang masih berlangsung antara Iran dan Amerika Serikat. “Jadi konflik ini merupakan konflik strategis tersendiri. Israel selalu ingin menjadi satu-satunya negara di kawasan yang memiliki senjata nuklir. Serangan ke berbagai target nuklir di Timur Tengah oleh Israel selama dua dekade terakhir menunjukkan obsesi ini. Iran menjadi target karena dianggap memiliki potensi nuklir yang serius, terutama dengan dukungan teknologi dari Rusia,” jelasnya.
Terkait dengan posisi Indonesia, Muhadi menyebut bahwa meskipun Indonesia merupakan negara besar, hingga kini belum memiliki strategi global yang jelas dalam menghadapi isu-isu geopolitik seperti ini. Meski demikian, ia mendorong agar Indonesia lebih aktif memanfaatkan forum-forum internasional terkait NPT dan memperjuangkan penerapan perjanjian ini secara adil, tanpa tebang pilih. “Politik luar negeri kita cenderung sebagai safe player, kita selama ini berusaha menjaga jarak, tidak ikut campur, namun juga ingin berperan dalam perdamaian. Permasalahannya, kita belum punya kapasitas nyata untuk mencampuri konflik semacam ini,” ujarnya.
Sementara itu, sosiolog dan peneliti senior di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Dr. Muhammad Najib Azca M.A., mengajak untuk memahami konflik Iran-Israel dalam konteks yang lebih luas. Menurutnya, konflik ini merupakan ekstensi dari perang berkepanjangan antara Israel dan Palestina yang melibatkan sejumlah aktor regional seperti Hamas, Hizbullah, dan Suriah. “Yang terjadi saat ini merupakan bentuk lanjutan dari konflik yang tidak pernah selesai. Hamas yang menjadi proksi Iran di Palestina, Lebanon, dan Suriah menjadi bagian dari dinamika ini. Kita berada dalam situasi global yang sangat tidak pasti dan penuh turbulensi,” katanya.
Menurutnya, Indonesia saat ini berada dalam situasi global yang penuh ketidakpastian dan berisiko tinggi, yang secara tidak langsung berdampak terhadap pencapaian target-target pembangunan nasional, termasuk stabilitas pangan. Dalam konteks ini, Indonesia perlu memperjelas posisi politik luar negerinya agar tidak terseret dalam skenario politik global seperti yang dirancang oleh Amerika Serikat melalui konsep “New Middle East”.
Ia menilai bahwa kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam forum internasional di Rusia, alih-alih menghadiri pertemuan G7 di Kanada, merupakan sinyal penting dari upaya Indonesia menjaga jarak dari dominasi satu blok kekuatan global. “Menurut saya itu merupakan gestur internasional yang penting, menandakan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada prinsip bebas aktif dan terbuka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak,” jelasnya.
Dengan eskalasi konflik yang kian kompleks dan dampak global yang mulai terasa, Indonesia dituntut tidak hanya mempertahankan prinsip bebas-aktif, tetapi juga memperkuat kapasitas diplomasi dan memperjuangkan perdamaian berdasarkan keadilan dan kesetaraan di panggung dunia. “Tanpa penyelesaian damai, konflik ini berisiko terus berlanjut dan mengancam stabilitas dunia. Indonesia harus lebih proaktif dan berani dalam memainkan peran diplomasi global,” pungkas Najib.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie