
Perdebatan mengenai royalti lagu yang tengah ramai diperbincangkan mendapat banyak sorotan publik. Pemutaran musik atau lagu di tempat makan hingga tempat hiburan merupakan hal yang dianggap sudah lumrah dilakukan bahkan tidak sedikit pelaku usaha yang kaget apabila memutar lagu atau menyanyikan lagu di tempat usaha wajib membayarkan royalti tahunan.
Berdasarkan peraturan mengenai royalti musik tercantum ke dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Hak cipta yang menetapkan bahwa pencipta dan pemilik hak terkait atas imbalan ketika karya mereka digunakan secara komersial. Dalam hal ini hak cipta termasuk buku, lagu, karya lukisan, karya fotografi dan lain sebagainya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Laurensia Andrini S.H., LL.M., Ph.D., menyampaikan bahwa pada dasarnya setiap karya cipta memiliki hak royaltinya. Ia mengungkapkan bahwa seorang pencipta lagu berhak atas dua hal. Yang pertama hak moral yang mana berkaitan dengan hak untuk diakui sebagai pencipta lagu. “Jadi, kenapa seseorang berhak atas royalti, utamanya karena dia punya hak cipta terhadap lagu yang dia ciptakan,” terang Andrini atau kerap disapa Ririn, Jumat (22/8), di Kampus UGM.
Dengan adanya hak moral sebuah lagu tidak boleh sembarangan dimutilasi, diganti liriknya, diplesetkan tanpa seizin pencipta lagunya. Selain itu, royalti ini pun terkait dengan hak ekonomi. Apabila sebuah lagu diputar di tempat publik hingga dipentaskan, pencipta lagu tersebut berhak mendapatkan royalti. Selain itu, isu yang membuat permasalahan ini mencuat ke publik adalah tidak sampainya royalti ke musisi atau pun pencipta lagu.
Soal penyelesaian atas perdebatan royalti lagu memang tidak mudah. Semenjak ramainya kasus terkait royalti terjadi pembaruan pada aturan – aturan yang mengatur hak cipta. Disebutkan bahwa salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia telah menempuh judicial review. Selain itu, juga terdapat Rancangan Undang-Undang yang diajukan ke DPR. Peraturan Menteri Hukum juga resmi dikeluarkan yakni No. 27 tahun 2025 yang mengatur mengenai pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik.
Menurut Ririn, tantangan yang dihadapi dalam penyelesaian permasalahan ini diperkirakan timbul dari dua pihak yakni pihak dari LMK selaku pihak yang mempunyai wewenang atas penarikan royalti yang belum transparan dan pelaku usaha yang belum memiliki kesadaran normatif dalam menyikapi permasalahan royalti ini. “Sebenarnya kalau menurut saya ini permasalahan sistemik. Ketidaktransparanan ini bisa disebabkan karena tidak adanya mekanisme transparansi yang ditetapkan. Disisi lain, pengguna sendiri juga tidak merasa hal ini adalah sebuah kewajiban,” imbuhnya.
Kendati begitu peraturan mengenai penetapan tarif royalti telah ditetapkan sejak tahun 2016. Dijelaskan pula mengenai mekanisme pembayaran royalti. Pihak yang memakai karya cipta untuk kebutuhan komersil diwajibkan untuk melapor frekuensi pemutaran lagu dalam satu bulan dan dibayarkan royaltinya kepada LMKN. “Jadi, secara normatif pelaku usaha yang melaporkan”, ungkap Ririn.
Ia menjelaskan ketentuan dari pembayaran telah diatur dalam PP Nomor 56 Tahun 2021. Setelah proses pembayaran, LMKM akan mendistribusikan ke LMK dari musisi yang bersangkutan. Namun, pada praktiknya masih banyak ditemukan kasus mengenai royalti musik. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada di Indonesia. Jika melihat mundur pada sejarah Indonesia yakni kolektif komunal. Hal tersebut terlihat dari bentuk budaya daerah seperti tari-tarian daerah dianggap milik daerah bukan individu. “Di Indonesia kolektif komunal jadi kepemilikannya bukan kepemilikan individu”, jelasnya.
Secara hukum dalam melaksanakan pengelolaan royalti menurutnya terdapat kewajiban bagi LMKN untuk melakukan audit keuangan dan kinerja minimal satu tahun sekali yang mana hasilnya diumumkan kepada masyarakat melalui satu media cetak nasional dan media elektronik.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik