Dua orang dosen dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah resmi dikukuhkan di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM pada Kamis (30/1). Kedua Guru Besar tersebut adalah Prof. Dr. Ir. Tri Satya Mastuti Widi, S.Pt., M.P., M.Sc., IPM., ASEAN Eng., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sistem Produksi Ternak. Sedangkan Prof. Ir. Panjono, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Produksi Ternak Potong pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Saling melengkapi, kedua pakar ilmu peternakan ini membahas pentingnya ilmu dalam peternakan untuk kebutuhan masyarakat luas. Prof. Panjono dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Pengembangan Industri Ternak Potong Menuju Indonesia Emas 2045” menjelaskan, bahwa untuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan anak dengan menyediakan makanan bergizi, pemenuhan kebutuhan daging sebagai bagian dari menu makanan tersebut sangat diperlukan. “Daging banyak mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, mineral besi, zinc, selenium, vitamin,” katanya.
Konsumsi daging di Indonesia sendiri masih didominasi oleh daging ayam, sapi dan kerbau. Namun, berbeda dengan daging ayam ras yang dapat memenuhi kebutuhan karena surplus, daging sapi dan kerbau justru masih mengalami defisit. Defisit ini disebabkan oleh lebih rendahnya produksi daging sapi dan kerbau yakni sebesar 496,25 ribu ton dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi dan kerbau sebesar 759,67 ribu ton,.
Selama ini, defisit ini dipenuhi dengan cara impor baik dagingnya maupun ternak hidup. Menurutnya, hal ini bukan merupakan hal yang baik jika dilihat dari segi kemandirian pangan nasional. “Pemenuhan kebutuhan daging dengan peningkatan produksi dalam negeri akan meningkatkan kemandirian pangan dan memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha ternak potong,” ujarnya.
Ia pun kemudian menjelaskan bahwa untuk mengembangkan industri ternak potong yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dan meningkatkan pendapatan peternak, diperlukan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan menurut Panjono adalah melakukan peningkatan kualitas gen, penerapan teknik pemeliharaan yang efisien, pengembangan sistem produksi, dan juga optimalisasi skala usaha. “Langkah-langkah tersebut harus dijabarkan ke dalam program, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang sehingga tujuan pemenuhan secara mandiri kebutuhan daging nasional dapat dicapai seiring dengan pencapaian Visi Indonesia Emas 2045,” tutup Panjono.
Setali dua uang, isu serupa pun ikut dibahas oleh Prof. Tri Satya Mastuti Widi dalam pidato pengukuhannya yang mengambil tajuk, “Desain Sistem Produksi Ternak Berkelanjutan dengan Pendekatan Holistik Berbasis Kearifan Lokal”. Ia menjelaskan bahwa sistem produksi ternak yang berkelanjutan dapat mengatasi masalah ketahanan pangan di Indonesia.
Tri mengatakan ketersediaan pangan dan energi merupakan isu krusial dan klasik bagi banyak negara-negara di dunia. Indonesia pun tidak menjadi pengecualian. Ia menjelaskan bahwa daging merah yang merupakan salah satu sumber pangan hewani tradisional di Indonesia, khususnya sapi masih terdapat gap, atau defisit antara produksi dan konsumsinya. “Bercermin pada hasil proyeksi produksi dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2023—2027, masih terdapat gap antara produksi dan konsumsi daging sapi,” jelas Tri.
Ia pun menjelaskan bahwa defisit ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan tujuan program pemerintah dan tujuan peternak dalam beternak. Kemudian, Tri pun menjelaskan beberapa upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan ini, yang kemudian menurutnya setiap upaya peningkatan produksi pangan tersebut sejatinya memiliki dampak pada lingkungan, biodiversitas, dan kesejahteraan ternak dan kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya berkelanjutan dengan tetap mengapresiasi kearifan lokal agar pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan tak perlu mengganggu kesehatan manusia, keragaman hayati, kesejahteraan ternak, dan juga lingkungan. “Penelitian dan pembangunan harus diarahkan pada kontribusi sistem produksi pertanian/peternakan untuk pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan secara holistik yang rekognisi tujuan ganda peternak dan trade-offs terkait,” ujarnya.
Di akhir pidatonya, Prof. Tri menyampaikan beberapa konsep gagasan yang terkait dengan keberlanjutan sistem produksi ternak, khususnya pada pembangunan peternakan. Hal-hal tersebut ialah, pembangunan peternakan di Indonesia harus memperhatikan sistem produksi dan kearifan lokal, menganalisis trade-offs dan dampak yang akan terjadi dalam setiap progress sistem produksi, perbaikan sistem produksi lokal, land use sharing dan pemanfaatan tanah marginal, dan kebijakan pemerintah yang sinergis, menyeluruh, dan kondusif. Ia pun menambahkan bahwa, keberhasilan desain ini selain dari peran serta pemerintah juga membutuhkan kerja sama seluruh pihak untuk mewujudkannya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto