
Berawal dari cuitan di media sosial X, sebuah akun mengungkap bahwa lowongan Asisten Rumah Tangga (ART) dan Baby Sitter kini dipenuhi oleh pelamar lulusan sarjana. Warga net pun kemudian ramai merespon cuitan tersebut sebagai akibat dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan. Sempitnya lapangan pekerjaan telah menjadi masalah menahun yang tak pernah kunjung usai. Menjelang bonus demografi pada tahun 2030, Indonesia akan mengalami lonjakan populasi usia angkatan kerja. Namun kondisi yang terjadi sekarang ini, angkatan kerja kesulitan untuk mencari lapangan perkerjaan. Sehingga memilih menjadi pekerja informak atau bekerja di tempat yang tidak seusai dengan kompetensinya.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada, Dian Fatmawati, S.IP., M.A., mengungkap terdapat sejumlah tantangan dan ancaman jika kondisi ini minimnya lapangan pekerjaan ini terus berlanjut di tengah lonjakan bonus demografi. Menurutnya, membludaknya jumlah tenaga kerja adalah hal yang wajar dalam bonus demografi. Sayangnya, “bonus” ini tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah. “Antara tahun 2020-2030 kita punya banyak sekali angkatan kerja, tapi di lain pihak tren lapangan kerja bukannya bertambah malah semakin menurun,” ungkap Dian, Selasa (8/5).
Ia menyebut sejumlah kasus seperti kesulitan Gen Z dalam mencari kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal akhir-akhir menjadi realita yang terjadi di lapangan. Menurutnya, situasi ekonomi-politik saat ini sangat tidak menguntungkan bagi ketersediaan lapangan kerja. Ekonomi semakin lesu, daya beli masyarakat menurun, pendapatan produsen menurun, sampai penghasilan masyarakat juga rendah. “Jika lingkaran tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan segera menghadapi krisis ekonomi,” paparnya.
Dampak minimnya lapangan kerja dapat berbeda bagi setiap lapisan masyarakat. Bagi yang masih memiliki kemampuan finansial untuk mengasah keterampilan ataupun melanjutkan pendidikan mungkin masih bisa bertahan. Sedangkan mereka yang tidak bisa mendapatkan penghasilan tanpa bekerja tentu sangat dirugikan sehingga beresiko memunculkan skill trap atau jebakan keterampilan. “Mereka terpaksa bekerja di sektor-sektor yang tidak sesuai dengan kompetensi, biasanya mengambil pekerjaan di bawah kualifikasi yang mereka miliki. Ini memunculkan fenomena skill trap,” terang Dian.
Lebih lanjut, Dian menjelaskan fenomena skill trap merupakan kondisi di mana seseorang tidak mendapatkan penambahan kompetensi sesuai bidangnya. Skill-trap dapat disebabkan oleh tidak adanya wadah yang sesuai untuk melatih dan mengelola kompetensi. Seseorang hanya bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan bertahan hidup. Fenomena ini cukup menjelaskan meningkatkan tren pekerja informal dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 pekerja sektor informal mencapai 74,09 juta orang (57,27% dari populasi). Kemudian meningkat di tahun 2024 hingga 84,13 juta orang (59,17% dari populasi).“Hampir 60% masyarakat kita bekerja secara self-employed, mempekerjakan dirinya sendiri karena tidak ada lowongan. Kita juga mengenal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tapi dengan kondisi ekonomi seperti ini UMKM juga sulit bertahan,” kata Dian.
Ia menyoroti viralnya tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk solusi dari masyarakat dengan bekerja di luar negeri. Selain karena sulitnya mencari kerja di Indonesia, beberapa negara lain rupanya tengah mengalami kekurangan tenaga kerja akibat ketersediaan populasi angkatan kerja yang minim.
Sejak dulu, pekerja migran telah menjadi opsi yang menarik berbagai kalangan. Menurut Dian, melihat kondisi negara seperti Hongkong, Taiwan, dan Jepang yang sedang mengalami usia penduduk tua, justru bisa menjadi kesempatan bagus bagi angkatan kerja Indonesia. “Pekerja migran dianggap sebagai ‘pahlawan devisa’ juga, ya karena ada pendapatan negara di sana. Meskipun banyak lowongan yang umumnya low skilled, tapi yang high skilled saya kira juga banyak. Ini bisa jadi opsi yang debatable,” ucap Dian.
Untuk memaksimalkan pekerja migran, menurut Dian, pemerintah harus mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut, seperti pelatihan, seleksi negara tujuan dan penerima jasa, serta jaminan perlindungan pekerja migran. Dian berharap, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang menguntungkan bagi situasi ekonomi dan politik, dan juga menaungi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik