
Mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada akhirnya dimintai keterangan Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan Mega Korupsi Pertamina. Dari pemeriksaan tersebut tidak banyak informasi relevan disampaikan Ahok. Bahkan ia mengatakan penyidik Kejagung memiliki data lebih lengkap dibanding data miliknya.
Sebelum pemeriksaan dilakukan sesungguhnya telah beredar luas informasi di Medsos rekaman yang konon berisi hasil penggeledahan di rumah Riza Chalid. Berdasarkan hasil penggeledahan di rumah tersebut dan pengakuan 9 tersangka maka informasi mengarah pada perampokan uang negara mencapai hampir Rp. 1.000 triliun.
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas, Dr. Fahmy Radhi, MBA menganalisis bahwa semenjak beredarnya rekaman tersebut hingga kini tidak ada pihak yang menyangkal atau membenarkan soal itu. Seperti sebelum-belumnya, perampokan tersebut dilakukan oleh jaringan terorganisir yang melibatkan elit pemerintahan, aparat keamanan, pengusaha dan para pembantunya.
“Jaringan terorganisirnya ini serupa dengan Mafia Migas yang beroperasi di Petral, anak perusahaan Pertamina yang berkedudukan di Singapura. Saat itu, Tim Anti Mafia Migas, yang diketuai oleh Almarhum Faisal Basri, mengendus perampokan uang negara melalui modus bidding dan markup blending impor BBM Premium (RON 88) yang dilakukan oleh Petral”, ujarnya di Kampus UGM, Jumat (14/3).
Fahmi menyayangkan kelanjutan hasil endusan Tim Anti Mafia Migas saat itu. Sehubungan tidak memiliki kewenangan penyidikan Tim Anti Mafia Migas pun hanya melaporkan temuan kepada KPK. Dalam diskusi saat penyerahan hasil temuan tersebut, kata Fahmi, KPK juga menyatakan memiliki informasi serupa tapi tidak menemukan alat bukti, dan mengaku kesulitan dalam penyelidikan lantaran Petral berada di Singapura dengan posisi di luar teritorial Indonesia.
Tim Anti Mafia Migas pun, lanjut Fahmi, pada akhirnya hanya merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghentikan impor BBM Premium, yang menjadi sasaran perampokan dan membubarkan Petral saat itu. “Petral memang telah menjadi sarang Mafia Migas, dan pada saat itu, Presiden Joko Widodo setuju dan mendukung pembubaran Petral,” terangnya.
Fahmi menuturkan sejak saat itu, penyidikan kasus Petral dihentikan dan tidak ada satu pun yang menjadi tersangka. Untuk itu, katanya, agar penyidikan mega korupsi Pertamina tidak terhenti seperti kasus Petral, Presiden Prabowo seharusnya memiliki komitmen kuat soal ini. “Semua tentu berharap Presiden Prabowo berkomitmen dan serius membongkar ini, dan siapa pun yang terlibat dalam jaringan terorganisir harus ditindak tegas secara hukum”, harap dosen Sekolah Vokasi UGM ini.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Merdeka.com